Resensi Taiko

Standar

Taiko, sebuah novel epik tentang perang dan kemenangan pada zaman feodal di Jepang. Novel tulisan Eiji ini didasarkan pada kejadian sejarah Jepang. Dimana setiap tokoh dan kejadian dalam buku ini sesuai dengan fakta sejarah yang ada. Meskipun Eiji telah meninggal di tahun 1962 karena menderita kanker, bukunya masih diterbitkan sampai saat ini. Menunjukan bahwa karyanya begitu luar biasa.

Buku Taiko ini mengisahkan perjalanan seorang penjual jarum keliling yang kelak menjadi pemimpin negeri Jepang. Lahir dari keluarga samurai miskin dengan ibu seorang petani di wilayah Owari. Sebuah wilayah yang dikuasai oleh marga Oda. Saat masih kecil anak ini dipanggil dengan nama Hiyoshi, namun lebih banyak orang memanggil dia Si Monyet karena tampangnya mirip sekali dengan monyet.

Keinginan untuk dapat membuat senang ibunya menjadi semangat Hiyoshi untuk mencari rizki. Banyak pekerjaan yang pernah dilakukannya, salah satunya Ia pernah menjadi penjual jarum keliling ke berbagai provinsi sebelum diangkat menjadi salah satu pengikut Nobunaga Oda, pemimpin marga Oda. Dari sini dimulailah kisah-kisah besar yang hiyoshi alami sebelum Ia menjadi seorang pemimpin Jepang kelak. Beberapa kali ia mengalami perubahan nama dari kinoshita Tokichiro, nama yang di berikan Nobunaga pada saat pertama kali Ia menjadi pengikutnya. Kemudian Nobunaga memberikan nama yang kedua yaitu Kinoshita Hideyoshi, sebagai rasa terima kasihnya setelah ia berhasil menjalankan tugas membangun benteng di Sunomata.

Suatu ketika Hideyoshi ditugasi oleh Nobunaga untuk menyelamatkan adik Nobunaga, Oichi, di benteng Odani milik marga Asai. Pada saat itu Nobunaga hendak menghancurkan benteng ini karena Nagamasa, adik ipar Nobunaga, ini tidak mau bergabung dengan Nobunaga dan memilih untuk bertarung menghadapinya. Padahal dua benteng milik marga Asai lainnya ditaklukan tanpa ada peperangan. Keberhasilan Hideyoshi dalam misi ini menyebabkan Nobunaga kembali menganugrahinya nama Hashiba Hideyoshi, dan nama terakhir dimiliki oleh Hideyoshi adalah Toyotomi Hideyoshi, sebelum Hideyoshi diberi gelar “Taiko” oleh sang Tenno.

Ada beberapa bagian yang menurut saya menarik dari kisah ini. Pertama adalah pada saat perbaikan benteng Kiyosu. Dimana Tokichiro ditugaskan untuk menyelesaikan perbaikan benteng ini selama tiga hari. Pada mulanya tugas ini dikerjakan oleh Yamabuchi Ukon selama 20 hari tanpa hasil yang signifikan. Awalnya para mandor dan pekerja tidak melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya . Para mandor dan pekerja tidak senang terhadap Tokichiro karena Ia terlihat begitu pandir, disamping mereka dijanjikan Ukon dengan bayaran yang tinggi jika mereka menggagalkan tugasnya. Karena jika Tokichiro mengalami kegagalan Ia akan melakukan seppuku.

Yang menarik dalam kejadiaan ini adalah pada saat Tokichiro berdialog dengan para mandor dan pekerja. Sampai di titik dimana Ia berkata “Mumpung kita bicara mengenai kecemasan, ketahuilah bahwa bukan proyek ini maupun nyawaku sendiri yang membuatku khawatir. Aku memikirkan nasib provinsi ini, yang menjadi tempat tinggal kalian semua. Tapi menghabiskan dua puluh hari untuk pekerjaan sepele ini-dengan semangat seperti ini- seluruh provinsi bisa binasa.”

“Kurasa kalian pernah melihat pasang surutnya sebuah provinsi. Dan kalian tahu penderitaan rakyat di provinsi yang jatuh. Apa bileh buat. Tentu saja yang mulia dan para jendral, sampai kami, para samurai yang paling rendah, tak pernah melupakan urusan pertahan provinsi, bahkan pada waktu tidur pun”

“Tetapi nasib sebuah provinsi tidak ditentukan di dalam benteng. Yang menentukan adalah kalian. Rakyatlah yangmerupakan tembok dan parit pertahanan. Mungkin kalian bahwa pekerjan ini tidak berbeda dengan pekerjaan membangun dinding sebuah rumah, tapi kalian keliru. Kalian sedang membangun pertahanan kalian sendiri. Apa yang terjadi jika benteng ini dibumihanguskan suatu hari? Tentu bukan seisi benteng saja yang tertimpa kemalangan. Seluruh kota akan dilalap api, dan seluruh provinsi akan musnah. Keadaan akan seperti di neraka, anak-anak direnggut dari orang tua masing-masing, orang tua mencari anak-anak mereka, gadis-gadis menjerit ketakutan, orang-orang sakit terbakar hidup-hidup. Ah, jika provinsi ini sampai jatuh, celakalah seluruh rakyat. Kalian semua punya orang tua, anak, istri, saudara yang sakit. Kalian harus selalu, selalu mengingat itu”

“Jadi, kenapa kita bisa menikmati masa damai sekarang? Pada dasarnya, berkat kepemimpinan yang mulia Nobunaga. Tapi kalian, rakyat provinsi ini, ikut berperan dalam benteng ini sebagai titik pusat. Tak peduli betapa gagahnya para samurai berjuang, jika rakyat sampai goyah…”
Dari kata-katanya tersebut akhirnya para mandor dan pekerja bekerja tersadar dari kesalahan mereka selama ini. Mengejar kesenangan sesaat tanpa berpikir jauh ke depan. Dari sinilah akhirnya perbaikan benteng dapat diselesaikan dalam dua hari, para mandor dan pekerja bekerja sepanjang hari tanpa istirahat. Kemampuan Tokichiro yang bisa menggerakan orang lain, bukan atas perintah namun melalui sebuah visi besar.
Satu buku yang terdiri dari sepuluh buku ini memiliki beberapa kelebihan. Dibandingkan dengan buku-buku sejenisnya, buku ini dilengkapi dengan peta kekuasaan jepang di jaman Feodal dan tiap kali awal buku dari sepuluh buku selalu dilengkapi oleh nama tokoh dan tempat kejadian lokasi. Dengan tambahan tersebut kita dapat membayangkan posisi dari tiap kejadian dan mengenal tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Disamping kelebihan diatas sayangnya buku ini memiliki beberapa kekurangan. Tidak adanya halaman pada daftar isi dari buku ini cukup menyulitkan pembaca untuk mencari hal dari tiap bab sehingga kita harus membuka-buka halaman untuk mencarinya. Dalam buku ini pun ada beberapa istilah yang tidak diberi penjelasan seperti istilah seppuku, moxa, sake, donjon. Mungkin pada saat itu, buku ini ditulis untuk dikonsumsi oleh orang-orang jepang, dimana mereka telah mengenal istilah tersebut.

Terlepas dari kelebihan maupun kekurangan buku ini. Tulisan Eiji Yoshikawa ini masih dapat kita nikmati, gaya bahaya ditulisnya yang mengalir membuat kita seolah berada dilokasi peristiwa dan menyaksikan peristiwa tersebut. (Sun)

Hari ini dan esok

Standar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ketika kenyataan tak sesuai kan bertemu dengan keinginan kuat untuk mempertahankan sebuah nilai yang akan hilang. Akankah nilai ini hilang hanya karena sebuah keputusan sepihak saja, ataukah ia akan menjadi bara yang membakar semangat pemilik nilai tersebut. Semuanya kan disaksikan oleh hari-hari ke depan, manakah yang akan perturuangan tersebut.

Kala keputusan yang memenangkan pertarungan ini, maka ia akan semakin menguatkan eksistensi tirani yang tanpa disadari kini mulai dibangun. Kekuasaan absolute yang tak seorangpun mampu mengubahnya, karena siapapun yang bertentangan dengannya maka binasalah ia. Dengan menggunakan tangan kanannya saat tangan kirinya menutup sebelah matanya.

Namun jika nilai lah yang memenangkan pertarungan ini, maka bara semangat akan mewarnai  setiap diri yang telah mempertahankan nilai tersebut. Menjadi bahan bakar baru bagi para pemiliknya untuk terus melakukan perubahan yang jauh lebih baik ke depannya. Semangat yang menjadi salah satu katalisator dalam mempercepat pertumbuhan setiap pribadi di dalamnya.

Semua itu hanya akan I ketahui esok, tatkala keduanya bertemu, menentukan mana yang akan keluar sebagai pilihan yang terbaik, karena yakinlah semuanya itu telah ada yang mengatur. Baik atau buruknya hasil yang aka keluar merupakan yang terbaik disaat kita telah berikhtiar untuk memperjuangkannya. Karena hanya kebaikan lah yang akan memenangkan petarungan ini.

Bodoh

Standar

Detakan detik terus bergerak,

tak terasa kehilangan akan dirinya.

Seolah ia bukanlah sesuatu yang berharga.

Bahkan sering kali dianggap remeh

bahkan di pandang sebelah mata.

 

Namun kala kita telah melakukan suatu tindakan bodoh,

atas kecerobohan yang dilakukan.

Maka tersadarlah, bahwa ia begitu teramat penting.

Seandainya bisa di balik tiap detakannya, alangkah senangnya hati ini.

 

Tapi tentu saja hal tersebut merupakan kebodohan berikutnya,

detakannya bisa saja mundur

namun mundurnya ia tetaplah dikalikan dengan tanda minus (-)

sehingga kembali bernilai positif.

Semakin banyaknya kehilangan ia.

 

Dari bodoh menjadi sesat.

Dasar bodoh,

kenapa penyesalan selalu ada diakhir.

Dan kini,

tak jelas pikiran ini mau kemana,

tak satu hal pun bisa dipikirkan.

 

Ia hanya berputar tak jelas

dengan gambar-gambar buram

bahkan tidak jelas sama sekali.

Kacau balau, bak kolam lele

yang terus diaduk tak karuan oleh si empunya.

 

Sungguh sial, kenapa ini bisa terjadi.

Padahal tak ada satupun yang begitu berat rasanya.

Salah di sebelah mana?

Dicari seharian pun,

masih saja ia seperti itu.

Tak terkendali,

menjadikan hari ini anugrah yang tersia-siakan.

Tak bermanfaat, tak bernilai sama sekali